Asia Pasifik Perlu Solusi Cloud Baru Untuk Dorong GenAI

Generative AI kini menjadi bagian dari operasional bisnis, yang memaksa organisasi untuk memikirkan kembali model infrastruktur mereka yang sudah tidak mampu lagi memfasilitasinya. Laporan baru dari IDC, yang ditugaskan oleh Akamai Technologies, menemukan bahwa perusahaan di Asia Pasifik menyadari bahwa arsitektur cloud yang tersentralisasi saja tidak lagi mampu memenuhi permintaan skala, kecepatan, dan kepatuhan yang terus bertambah. Oleh karena itu, bisnis perlu memikirkan kembali dan memperkuat strategi infrastruktur mereka. Infrasruktur yang mencakup layanan data center edge sedang ditambahkan agar tetap kompetitif dan patuh terhadap regulasi.

IDC memperkirakan bahwa pada tahun 2027, 80% CIO akan beralih ke layanan edge dari penyedia cloud untuk memenuhi permintaan performa dan kepatuhan dari AI inferencing. Tren ini menunjukkan pergeseran dari AI yang bersifat eksperimental menjadi AI yang diimplementasikan di seluruh perusahaan.

Seiring dengan pergeseran ini, perusahaan di Asia Pasifik menghadapi batasan dari infrastruktur yang ada. 49% dari perusahaan yang disurvei kesulitan mengelola lingkungan multicloud karena alat yang tidak konsisten dan manajemen data yang terfragmentasi. Setengah dari 1.000 perusahaan teratas di Asia Pasifik juga akan kesulitan dengan perubahan regulasi yang berbeda-beda, yang berakibat menghambat inovasi AI.

GenAI Masih Berkembang Di Asia Pasifik

Laporan IDC memperlihatkan beberapa hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan dalam implementasi GenAI:

  1. Kompleksitas multicloud: 49% perusahaan berjuang untuk mengelola lingkungan multicloud karena alat yang tidak konsisten, manajemen data yang terfragmentasi, dan tantangan dalam memelihara sistem terkini di seluruh platform.
  2. Jebakan kepatuhan: 50% dari 1.000 organisasi teratas di Asia-Pasifik akan berjuang dengan perubahan peraturan yang berbeda dan standar kepatuhan yang berkembang pesat, dan ini akan menantang kemampuan mereka untuk beradaptasi dengan kondisi pasar dan mendorong inovasi AI.
  3. Kejutan tagihan: 24% organisasi mengidentifikasi kenaikan biaya cloud yang tidak dapat diprediksi sebagai tantangan utama dalam strategi GenAI mereka.
  4. Hambatan kinerja: Model cloud hub-and-spoke tradisional menyebabkan latensi yang melemahkan kinerja aplikasi AI real-time, membuatnya tidak cocok untuk beban kerja GenAI skala produksi.

Parimal Pandya, Senior Vice President, Sales, and Managing Director, Asia Pacific, Akamai Technologies, mengatakan, “Laporan penelitian IDC ini mengungkapkan bagaimana bisnis di Asia Pasifik mengadopsi infrastruktur yang lebih terdistribusi dan berorientasi pada edge untuk memenuhi kebutuhan kinerja, keamanan, dan biaya dari beban kerja AI modern. Platform edge global Akamai dirancang untuk transformasi ini membawa kekuatan komputasi lebih dekat ke pengguna, di mana hal itu paling penting.”

Laporan IDC juga memberikan gambaran mengenai adopsi GenAI dan strategi infrastruktur di beberapa negara APAC. Di Tiongkok, 37% perusahaan telah menerapkan GenAI dalam produksi dan 61% masih mengujinya. 96% mengandalkan public cloud IaaS dan investasi IT edge sedang dipercepat untuk mendukung operasional jarak jauh.

Sementara itu, di Jepang, meskipun hanya 38% perusahaan yang memiliki GenAI dalam produksi, 84% percaya GenAI akan mengubah bisnis mereka dalam 18 bulan ke depan. 98% berencana menjalankan beban kerja AI pada public cloud IaaS. Penggunaan edge untuk AI, IoT, dan dukungan operasional sedang mendorong peningkatan infrastruktur. Di negara-negara ASEAN, 91% perusahaan memperkirakan adanya perubahan besar dari GenAI dalam 18 bulan. 16% telah menggunakan aplikasi GenAI dalam produksi, dan 84% masih dalam tahap pengujian awal. Investasi edge juga meningkat untuk mendukung operasional jarak jauh dan kendali data.