Adopsi GenAI Di Pengembangan Software Masih Banyak Yang Berhenti Di Tahap Eksperimen

Laporan World Quality Report 2025 mengungkap lonjakan adopsi GenAI dalam Quality Engineering, namun hanya 15 persen organisasi yang mampu mencapai implementasi skala perusahaan. Apa penyebabnya dan bagaimana perusahaan dapat menutup jurang kesiapan ini?

World Quality Report 2025 menunjukkan percepatan signifikan dalam pemanfaatan generative AI pada Quality Engineering pengembangan software atau QE. Sebanyak 89 persen organisasi kini sedang melakukan pilot atau sudah menggunakan alur kerja yang diperkaya GenAI, dengan 37 persen telah mencapai produksi dan 52 persen masih berada di tahap uji coba. 

“Quality engineering sedang didefinisikan ulang oleh AI. Berdiam diri bukanlah pilihan. Organisasi harus mengadopsi transformasi yang didorong oleh AI untuk tetap kompetitif dan memberikan hasil lebih cepat dengan keyakinan yang lebih tinggi,” kata Tal Levi-Joseph, Senior Vice President, Application Delivery Management di OpenText. “AI mendorong organisasi untuk melampaui pengujian tradisional dan mengintegrasikan kualitas sepanjang siklus hidup pengiriman perangkat lunak.” 

Namun, laporan juga menunjukkan jurang yang semakin lebar antara minat dan kesiapan implementasi. Hanya 15 persen responden yang berhasil mencapai implementasi GenAI pada tingkat produksi. Sebaliknya, 43 persen masih pada fase eksperimen dan 30 persen menggunakan GenAI pada kasus-kasus terbatas. 

Transisi dari percobaan menuju produksi terbukti jauh lebih kompleks, memerlukan penyelarasan antara inovasi operasional dan pengawasan strategis.

Kesiapan Organisasi Masih Rendah

Hambatan implementasi GenAI dalam QE mengalami pergeseran dari isu strategis menjadi tantangan teknis. Tantangan terbesar pada 2025 mencakup kompleksitas integrasi sebesar 64 persen, risiko privasi data sebesar 67 persen, serta kekhawatiran mengenai halusinasi dan keandalan output GenAI sebesar 60 persen. 

Ini berbeda dari 2024, di mana masalah utama lebih terkait strategi seperti ketiadaan strategi validasi, kurangnya keahlian AI, dan struktur QE yang belum terdefinisi.

Kesenjangan keahlian ternyata tidak membaik. Sebanyak 50 persen organisasi masih kekurangan tenaga ahli AI atau machine learning, angka yang sama dengan tahun sebelumnya. Banyak organisasi juga terjebak dalam pola berpikir bahwa GenAI hanyalah alat peningkat taktis, bukan  strategis. Akibatnya, inisiatif GenAI sering terfragmentasi dan kurang pendanaan.

Laporan juga menyoroti pentingnya paduan keahlian manusia dan kemampuan AI untuk meningkatkan hasil kualitas. Pendekatan ini membuktikan bahwa AI berfungsi paling efektif sebagai penguat kapabilitas inti QE, bukan pengganti.