Agentic AI mengubah cara organisasi bekerja dengan memasukkan kolaborasi manusia dan agent otonom dalam satu ekosistem. Pelajari bagaimana perusahaan dapat membangun agentic enterprise yang terukur, aman, dan siap produksi.
Ketika pemimpin IT pertama kali mengadopsi pengembangan perangkat lunak low code pada pertengahan awal milenial 2000, manfaatnya diukur dalam jam per pengembang. Manfaat yang tadinya diukur dengan cara yang sederhana, kini variabel yang dihitung makin banyak, termasuk waktu ke pasar, ketangkasan bisnis, dan pengalaman pelanggan. Konsep agentic enterprise di mana pengembang dan pembuat solusi dapat membangun AI agent otonom untuk setiap tugas dan interaksi pelanggan, menempatkan organisasi di persimpangan jalan. Agent-agent ini tidak sekadar mengeksekusi perintah, tetapi juga bernalar, berkolaborasi, dan mengambil inisiatif bersama manusia untuk mencapai hasil yang lebih cepat. Fungsi utama dari masuknya karyawan digital ke dalam lingkup alur kerja adalah mendobrak batas kapasitas manusia yang selama ini menahan laju inovasi, yang diharapkan dapat mencapai hasil dalam hitungan hari atau bahkan jam yang sebelumnya memerlukan bertahun-tahun.
Transformasi yang membuat HRD harus berpikir ulang bagaimana membuat karyawan manusia akrab dengan karyawan digital ini bergerak terlalu cepat sampai pada saat caranya masih dipikirkan, sudah ada teknologi baru mengetuk pintu. Bahkan yang tadinya pertanyaannya adalah bagaimana perusahaan akan menggunakan agent, sudah harus berubah menjadi apa lagi yang agent bisa kerjakan?
TravelEssence menemukan bahwa AI agent dapat menangani lebih banyak kasus penggunaan daripada yang mereka perkirakan. Dengan mengadopsi OutSystems Agent Workbench, perusahaan tersebut membangun ekosistem sekumpulan AI agent yang mempercepat rekomendasi perjalanan secara real-time. Namun, seperti perangkat lunak lainnya yang baru saja dilncurkan, agent punya potensi risiko kesalahan, celah keamanan, dan tantangan tata kelola yang bahkan skalanya jauh lebih besar. Di sini area pemimpin IT bertanggung jawab mengelola seluruh siklus hidup sistem agentic dengan prinsip keamanan dan kepatuhan yang sama ketatnya dengan sistem tradisional. Hampir mirip dengan HRD memastikan karyawan mendapatkan pelatiham untuk melakukan tugas-tugasnya. Sama juga dengan AI agent yang bisa mengalami halusinasi sedangkan karyawan manusia kurang termotivasi.
Realitas Agentic AI Saat Ini
Perjalanan menuju agentic enterprise bukan jalur lurus, bahkan mungkin jalannya belum ada yang pasti karena ini teknologi baru yang dapat merombak cara bekerja. Apa pun yang baru harus dicek risikonya,
Banyak organisasi saat ini menambahkan agent di atas tumpukan aplikasi dan data yang sudah terfragmentasi. Seakan memberikan alat baru kepada karyawan dan membiarkan mereka mencari tahu sendiri bagaimana dapat membawa manfaat, karena yang memberikan tool juga belum tentu tahu hasil akhirnya. Tool produktivitas dan platform SaaS sehari-hari mulai menyertakan agent AI, bahkan memberi ruang bagi karyawan non-teknis untuk membuat agent mereka sendiri. Hasilnya sering kali berupa eksperimen AI yang terisolasi, tidak saling berbagi data, dan sulit diawasi secara konsisten. Ini menjadi pekerjaan tambahan bagi pemimpin IT untuk membangun sistem visibilitas dan tata kelola menyeluruh guna memastikan koordinasi antarsilo AI berjalan efektif.
Agentic enterprise punya tujuan mulia yaitu menciptakan harmoni antara manusia dan AI dengan pola kerja human on the loop, di mana kontrol akhir tetap berada di tangan manusia. AI menangani pekerjaan berat seperti pemrosesan data dan pengambilan keputusan rutin, sementara manusia memberikan apa yang paling baik bisa dilakukan oleh manusia, yaitu intuisi strategis, pertimbangan etis, dan pengawasan pada situasi kompleks. Siklus kolaboratif ini menciptakan umpan balik positif, sehingga proses makin efisien dan pengalaman pelanggan makin baik. Tahap berikutnya adalah mengumpulkan wawasan baru yang membuka peluang inovasi selanjutnya.
Banyak perusahaan menunda implementasi agentic AI karena dianggap rumit dan memerlukan transformasi total. Mereka tidak sala. Namun penundaan justru berarti siap menanggung biaya besar dari kehilangan momentum AI maupun ancaman disrupsi dari pesaing. Pemimpin visioner mengambil pendekatan bertahap, mulai dari mengidentifikasi kasus penggunaan dengan dampak langsung, membangun purwarupa, menguji hasil, lalu memperluas penerapan secara terukur.
Anggapan bahwa adopsi agentic AI mengharuskan meninggalkan sistem lama juga keliru. Justru, sistem warisan seperti ERP, CRM, dan aplikasi khusus adalah aset penting yang memperkuat nilai agent AI. Teknologi yang tersedia saat ini memungkinkan sinkronisasi antara data historis dan real time dari berbagai repositori, dengan tetap membatasi akses AI pada konteks yang relevan. Pendekatan ini memastikan agentic enterprise dibangun di atas fondasi yang aman, terkendali, dan berkelanjutan sehingga nantinya bisa menjadi sistem kolaboratif yang siap produksi. Bukan berakhir di tumpukan eksperimen AI lainnya yang tidak menemukan cahaya di ujungnya.





