Studi yang ditugaskan oleh Zoom dan dilakukan oleh Kantar terhadap 2.551 responden berusia 18 hingga 45 tahun di delapan negara Asia Pasifik, termasuk Australia, mengungkap ekspektasi unik dari kelompok yang disebut AI natives generasi muda berusia 18 hingga 24 tahun yang telah terbiasa menggunakan AI sejak dini.
AI natives di Australia memiliki pandangan yang berbeda terhadap peran AI dalam Customer Experience (CX) dan Employee Experience (EX). Empat dari lima atau 80 persen AI natives menginginkan opsi untuk beralih ke agen manusia dalam interaksi pelanggan, meskipun 59 persen juga berharap bisnis menyediakan opsi AI untuk resolusi yang lebih cepat. Mereka menekankan pentingnya keseimbangan antara kecepatan dan empati manusia.
AI natives menginginkan respons AI yang lebih personal dan relevan. Sebanyak 63 persen merasa jawaban AI terlalu umum dan tidak membantu, sementara 59 persen lebih percaya bahwa agen manusia akan memahami masalah mereka dengan benar. Mendapatkan jawaban generik atau hasil copy paste menjadi faktor utama yang memengaruhi loyalitas merek sebanyak 53 persen. Satu dari tiga AI natives atau 34 persen bahkan menyebut pengalaman pelanggan yang terputus-putus sebagai alasan utama berhenti menggunakan suatu merek.
Menurut Bede Hackney, Head of Zoom, Australia dan Selandia Baru, mengatakan, “Seiring dengan masuknya demografi yang terus berkembang ini ke pasar konsumen dan tenaga kerja dengan ekspektasi yang terbentuk oleh kecerdasan buatan (AI), organisasi harus siap untuk beradaptasi dan menyediakan pengalaman yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Penelitian kami menemukan bahwa generasi AI lebih selektif dalam menggunakan teknologi dan tetap menginginkan koneksi manusia. Oleh karena itu, mengambil pendekatan strategis dalam penerapan AI mungkin menjadi solusi, dan menemukan keseimbangan yang tepat adalah kunci.”
Ekspektasi Lebih Tinggi terhadap AI di Tempat Kerja
Di sisi profesional, baik AI natives maupun non-AI natives di Australia sepakat bahwa AI kini menjadi bagian dari kehidupan kerja sehari-hari. Hanya tujuh persen responden yang mengatakan belum menggunakan AI di tempat kerja mereka. Namun, meskipun 80 persen non-AI natives merasa puas dengan tool AI yang disediakan perusahaan, tingkat kepuasan AI natives lebih rendah yaitu 63 persen.
Sebagian besar AI natives, yaitu 62 persen, setuju bahwa penting bagi pemberi kerja untuk menyediakan akses ke tool AI. Namun 49 persen di antaranya menyoroti kekhawatiran soal keamanan dan privasi data AI. Ketika ditanya tentang frustrasi terbesar terhadap AI di tempat kerja, hampir setengah atau 44 persen menyebut kurangnya pemahaman kontekstual sebagai hambatan utama.
Secara umum, tingkat adopsi AI di tenaga kerja Australia tertinggal dibanding kawasan Asia Pasifik. Hanya 39 persen AI natives dan non-AI natives di Australia yang menggunakan AI untuk analisis data dan pelaporan, dibandingkan 48 persen di Asia Pasifik secara keseluruhan. Mereka juga lebih jarang menggunakan AI untuk penulisan dan pengeditan, yaitu 46 persen dibanding 56 persen pada non-AI natives.
Hackney menambahkan bahwa untuk sepenuhnya mewujudkan manfaat AI dan tetap kompetitif secara global, organisasi perlu memahami bahwa AI natives memiliki ekspektasi lebih tinggi terhadap kualitas, tata kelola, dan keamanan AI. Loyalitas karyawan dan produktivitas akan bergantung pada seberapa cepat perusahaan dapat mengembangkan tool dan pelatihan AI mereka sambil menjaga keseimbangan antara efisiensi teknologi dan koneksi manusia.
AI natives menginginkan kombinasi terbaik antara kecepatan dan personalisasi dari AI, serta empati dan pemahaman akurat dari manusia. Dengan meningkatnya jumlah generasi ini di pasar tenaga kerja dan konsumen, keberhasilan organisasi akan ditentukan oleh kemampuan mereka menemukan keseimbangan tersebut.









