Di era AI agent, pekerjaan di level awal tidak hilang tetapi berubah menjadi peran orkestrator yang memimpin kolaborasi manusia dan AI, dengan keterampilan humaniora justru makin diburu.
Laporan terbaru dari Federal Reserve Bank of New York mengungkap pola mengejutkan di pasar kerja. Lulusan ilmu humaniora seperti filsafat dan sejarah seni menunjukkan prospek pekerjaan yang lebih baik, bahkan mengungguli lulusan ilmu komputer dan teknik. Tingkat pengangguran untuk jurusan ilmu gizi hanya 0,4%, sementara lulusan teknik komputer menghadapi angka 7,5%.
Ali Bebo, Chief Human Resources Officer di Pearson, mengatakan, “Keterampilan manusia belajar, kemampuan beradaptasi, komunikasi, dan pemikiran kritis sangat penting. Keterampilan tersebut sangat relevan dalam penerapan teknologi canggih, AI, dan machine learning.”
AI memang mampu memproses informasi rutin, tetapi justru hal ini menciptakan permintaan baru untuk kemampuan berpikir kritis tingkat tinggi, menggeser peran pekerja tingkat awal dari sekadar pelaksana menjadi pengaju pertanyaan yang tepat dan jembatan antara AI dan wawasan manusia.
Laporan Fed menunjukkan tingkat pengangguran bagi lulusan baru sebesar 5,8% pada kuartal pertama 2025, tertinggi sejak 2021. Namun survei Slack Workforce Index terhadap lebih dari 5.000 pekerja kantoran global memperlihatkan kenyataan berbeda. Mayoritas dengan 58% eksekutif justru berencana menambah perekrutan staf level awal di tengah percepatan adopsi AI. Pergeseran paradigma ini menegaskan bahwa pekerjaan tingkat awal tidak menghilang, melainkan berubah bentuk.
“Jangan memikirkannya sebagai ‘Saya perlu mengganti pekerjaan-pekerjaan ini,’ melainkan ‘Apa saja pekerjaan baru yang akan kita berikan untuk merekrut staf junior dan lulusan pascasarjana?” kata Ruth Hickin, VP of Workforce Innovation at Salesforce di Salesforce.
Dalam konteks orkestrasi ini, keterampilan manusia menjadi jauh lebih bernilai dibanding kemampuan teknis yang mudah dikomoditisasi oleh AI. Tomas Chamorro-Premuzic, psikolog organisasi, berpendapat bahwa generative AI pada dasarnya mengubah setiap orang yang mampu berbicara dan mengelola bahasa menjadi programmer karena memberi prompt pada AI sesungguhnya adalah bentuk pemrograman.
Lulusan seni liberal membawa keunggulan yang tidak dimiliki pelatihan teknis semata, yaitu penguasaan bahasa yang baik, rasa ingin tahu yang tinggi, serta pengetahuan lintas disiplin yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan AI secara orisinal dan bernilai tambah.
Saat alat AI seperti Project Mercury dari OpenAI mengambil alih tugas-tugas tradisional tingkat awal seperti membangun model Excel dan menyiapkan presentasi PowerPoint, sehingga kemampuan untuk mempertanyakan asumsi, memeriksa batasan model, dan mensintesis informasi lintas sumber menjadi semakin vital.
Nilai seorang pekerja tingkat awal tidak lagi dinilai dari seberapa cepat ia dapat mengerjakan tugas rutin, tetapi dari seberapa baik ia mampu mengarahkan AI agent untuk menghasilkan keluaran yang tepat, kemudian menyaring dan mengemasnya menjadi keputusan dan rekomendasi yang bermakna.




