IDC memprediksi bahwa setengah nilai ekonomi baru dari bisnis digital di Asia Pasifik dan Jepang akan digerakkan oleh agentic AI pada 2030, dengan kepemimpinan dan tata kelola menjadi penentu utama pemenang.
Pergeseran sedang terjadi di kawasan Asia Pasifik dan Jepang (APJ), ditandai dengan berakhirnya fase AI pivot dan memasuki masa depan agentic. Perusahaan-perusahaan di kawasan ini mulai menyadari bahwa eksperimen dan proyek pilot AI saja tidak lagi cukup untuk mempertahankan keunggulan kompetitif. Mereka dituntut untuk mengukur dampak bisnis dari investasi AI sekaligus membangun tata kelola yang bertanggung jawab.
IDC memprakirakan bahwa pada tahun 2030, 50% nilai ekonomi baru yang diciptakan oleh bisnis digital di Asia Pasifik akan berasal dari organisasi yang mulai berinvestasi dan meningkatkan kemampuan AI mereka sejak sekarang. Kuncinya bukan hanya mencoba AI, tetapi menanamkan otonomi, kecerdasan data, dan tata kelola yang kuat ke dalam strategi bisnis.
Untuk meraih nilai ekonomi baru ini, perusahaan di APJ akan bertumpu pada tiga pilar utama yaitu agentic AI, orkestrasi, dan kecerdasan data. Agentic AI merujuk pada bentuk kecerdasan buatan yang mampu bertindak dengan tujuan, otonomi, dan akuntabilitas. AI agentik diposisikan mampu mempercepat hasil bisnis, mengambil tindakan, dan mengotomatiskan alur kerja yang kompleks.
Orkestrasi dibutuhkan untuk mengelola multi-agent yang melintasi berbagai saluran, aplikasi, dan pemasok. Tujuannya adalah menciptakan interaksi yang lebih mulus dan kaya konteks bagi pelanggan serta mitra. Prediksi IDC pada 2027, mayoritas organisasi akan mengelola pengalaman multi-agen lintas kanal.
Fondasi dari semuanya adalah kecerdasan data, yaitu kemampuan untuk mengubah data menjadi wawasan yang dapat ditindaklanjuti secara konsisten, dapat dipercaya, dan sesuai regulasi.
Sandra Ng, Senior Vice President, IDC Asia Pasifik, mengatakan, “Perusahaan-perusahaan di kawasan ini telah melampaui tahap eksperimen dan proyek percontohan menuju masa depan di mana AI beroperasi dengan tujuan, otonomi, dan pertanggungjawaban. Pada fase baru ini, kejelasan kepemimpinan dan skalabilitas yang bertanggung jawab menjadi kunci. Kesuksesan diukur dari seberapa banyak yang dapat kita capai ketika AI menjadi penguat kita. Penemuan adalah perjalanan yang harus kita tempuh bersama di era yang belum pernah terjadi sebelumnya ini. Yang terbaik akan memimpin melalui AI belajar dengan cepat dan membimbing orang lain dalam perjalanan perubahan ini.”
Keyakinan ini tercermin dalam riset IDC yang menunjukkan bahwa 66 persen CEO di APJ percaya AI akan memberikan peluang untuk menciptakan kembali model bisnis mereka dalam tiga hingga lima tahun ke depan. Di saat yang sama, IDC memproyeksikan belanja TI di APJ akan tumbuh sekitar 7 persen dan mencapai USD 1,123 triliun pada 2026.
Adopsi AI berskala besar juga membantu para pemimpin teknologi mencapai tujuan strategis yang lebih ambisius. Diprediksi bahwa pada 2028, 60 persen peran CIO di 1.000 perusahaan teratas di Asia (A1000) akan dipegang oleh pemimpin transformasional yang menerapkan model bisnis berbasis AI. Sebelumnya. pada 2027, 50 persen CIO di A1000 akan ditugaskan untuk menyusun playbook nilai AI perusahaan, yang berfungsi sebagai kerangka kerja untuk menghitung dan mengomunikasikan dampak bisnis dari inisiatif AI.
IDC juga memproyeksikan bahwa pada 2027, 45 persen aplikasi dan layanan AI akan gagal melampaui fase Proof of Concept (PoC). Kegagalan ini akan mendorong CEO untuk membentuk pusat keunggulan AI guna memusatkan strategi, tata kelola, dan pengelolaan portofolio inisiatif AI. Tanpa panduan strategis yang kuat, inisiatif AI berisiko menjadi sekadar eksperimen terisolasi yang sulit tereplikasi dan tidak memberikan dampak bisnis yang konsisten.
Risiko lainnya muncul dari sisi pengukuran manfaat ekonomi. IDC memprediksi bahwa pada 2026, 45 persen kasus penggunaan digital yang didukung AI di APJ akan gagal memenuhi target laba atas investasi karena dua hal utama yaitu fondasi data yang lemah dan sasaran keuntungan yang tidak jelas. Organisasi yang tidak memperjelas definisi keberhasilan sejak awal, tidak melakukan penataan data, dan tidak merancang metrik nilai bisnis yang konkret akan kesulitan menunjukkan manfaat nyata dari AI kepada pemangku kepentingan.
Di sisi lain, IDC memprediksi bahwa pada 2029, 55% CEO di A1000 yang tidak memiliki strategi AI yang jelas akan menghadapi tekanan untuk diganti. Pesannya tegas, kepemimpinan yang akuntabel dan strategi AI yang terarah adalah keharusan untuk memenangkan persaingan di dekade mendatang.






