
(Source: IDC)
Kecerdasan buatan (AI) kini telah meresap ke setiap aspek kehidupan dan pekerjaan. Banyak produk sudah dilengkapi AI, yang kini menjadi standar dasar untuk menarik pembeli. Pembeli ini, pada gilirannya, semakin memanfaatkan AI untuk mencari, membandingkan, dan memilih produk lebih cepat. Fenomena ini menciptakan pergeseran pasar yang signifikan, menuntut pelaku bisnis tidak hanya memiliki AI, tetapi juga menguasai cara memasarkannya secara efektif.
Perubahan perilaku pembeli ini secara fundamental mengubah cara pemasaran produk bekerja. Data IDC menunjukkan bahwa pada tahun 2024, 74% pembeli teknologi B2B berencana untuk membeli lebih banyak melalui e-commerce dan mengurangi interaksi dengan perwakilan penjualan selama tiga tahun ke depan. Persentase ini meningkat dari 56% pada tahun 2019. Lebih lanjut, AI diprediksi akan mempercepat evolusi ini, dengan 70% pembeli B2B di AS akan mengandalkan alat AI generatif dalam proses pembelian mereka pada tahun 2028.
Dalam menghadapi dinamika pasar yang didominasi AI ini, para pemimpin pemasaran berada di bawah tekanan besar. Tekanan ini datang dari berbagai eksekutif. CEO berharap pemasaran dapat menunjukkan bagaimana AI mengembangkan bisnis secara keseluruhan, bukan hanya merek. CFO meminta bukti konkret bahwa investasi dalam alat dan konten AI menghasilkan pendapatan, pertumbuhan, dan mengurangi inefisiensi. Sementara itu, CTO menekankan pentingnya komunikasi akurat mengenai nilai bisnis dari kemampuan AI perusahaan kepada pasar, menjaga kredibilitas teknologi dan selaras dengan roadmap teknologi internal.
Peran utama pemasaran di era AI ini jauh melampaui tugas biasanya. Pemasaran harus bisa memimpin transformasi bisnis di pasar, menunjukkan kepemimpinan dan daya saing. Selanjutnya, mereka perlu membuktikan ROI (Return on Investment) dari produk yang didukung AI, dengan menunjukkan bagaimana produk tersebut menghasilkan keuntungan, mengurangi pemborosan, dan menciptakan nilai bisnis yang jelas. Pemasaran berfungsi untuk menerjemahkan kemampuan AI yang rumit menjadi pesan yang mudah dimengerti dan dipercaya, selaras dengan rencana teknologi internal perusahaan, dan membuat bisnis berbeda di mata publik.
Menghadapi tekanan ini, banyak tim pemasaran masih bergulat dengan tantangan. Ada kesenjangan data, yang membuat strategi sering dibangun berdasarkan asumsi atau informasi tidak lengkap. Posisi kompetitif pun menjadi lebih sulit karena makin banyak perusahaan mengadopsi AI, menuntut lebih dari sekadar menjadi pengikut tren yang cepat. Tantangan lainnya adalah kejelasan narasi. Tanpa cerita yang jelas dan meyakinkan yang menghubungkan produk dengan hasil bisnis, kemampuan AI tercanggih sekalipun akan gagal membangun kepercayaan.
Untuk mengubah tekanan menjadi kinerja, para Chief Marketing Officer harus mengubah fokus diskusi internal dan mengajukan pertanyaan yang lebih mendesak kepada tim mereka. Pertanyaan-pertanyaan ini meliputi “Di mana data pasar yang sebenarnya, bukan asumsi?”, “Bagaimana pesaing kita menggunakan AI dan bagaimana kita mengungguli mereka?”, “Apa kisah yang membuktikan kita berada di depan kurva?”, dan “Apa yang sebenarnya diinginkan serta dibutuhkan pembeli kita?”. Hal ini menyoroti perlunya strategi go-to-market yang didasarkan pada wawasan, berfokus pada eksekusi, dan didorong oleh ROI (Return on Investment). Intinya, AI bukan lagi tren yang sedang berkembang, melainkan telah menjadi teknologi arus utama yang membentuk cara produk dibangun, perilaku pembeli, dan bagaimana pangsa pasar dimenangkan.










