Tren Agentic AI Yang Menjadi Arah Perusahaan Di Masa Depan

Artikel ini membahas prediksi Salesforce tentang masa depan agen AI menuju 2026, yaitu dari workforce multi-agent sebagai pendorong adopsi skala besar.

Tahun 2025 telah membawa kecerdasan buatan (AI) perusahaan melampaui sekadar perintah teks sederhana dan respons reaktif. Kita memasuki realitas baru di mana AI agent tidak hanya menjawab pertanyaan, tetapi juga bertindak di dalam sistem bisnis. 

Muncul tren vibe coding, yaitu penggunaan AI generatif untuk menulis kode dari perintah bahasa alami. Tren ini memang mendemokratisasikan pengembangan aplikasi, tetapi sekaligus membuka tantangan baru terkait keamanan dan keandalan.

Di saat yang sama, perusahaan menghadapi fenomena workslop. Terjadi banjir konten dan output AI berkualitas rendah serta berhalusinasi, yang justru memaksa karyawan menghabiskan banyak waktu mengaudit agen yang seharusnya menghemat waktu mereka. 

Menuju tahun 2026, momentum agentic AI tidak terbantahkan. Studi terbaru Salesforce terhadap para Chief Information Officer (CIO) menunjukkan adopsi AI melonjak 282%. Namun laporan tersebut juga menegaskan bahwa banyak pemimpin bisnis masih ragu untuk sepenuhnya beralih ke strategi yang mengutamakan agen otonom. 

Kepercayaan terhadap data menjadi hambatan utama ketika mereka menimbang risiko tindakan otonom dibandingkan keuntungan skala yang sangat besar.

Tenaga Kerja Multi-Agent

Masa depan AI di perusahaan tidak lagi berbentuk satu model monolitik yang mengerjakan semua hal, melainkan sistem yang terdiri dari banyak AI agent yang terorkestrasi. Dalam pola ini, agent orkestrator utama akan mengarahkan berbagai AI agent ahli yang lebih kecil dan lebih terspesialisasi. 

Pendekatan ini memungkinkan spesialisasi, efisiensi, dan skalabilitas yang lebih tinggi, mirip dengan tim manusia yang dikelola dengan baik. Yang tidak kalah penting, model ini memastikan manusia tetap memegang kendali, dengan peran yang bergeser menjadi pengawas tingkat tinggi yang menetapkan batas etika, mengawasi kinerja, dan memanfaatkan observabilitas AI untuk mengelola seluruh tim yang berisikan karyawan digital.

Salesforce memprediksi bahwa di sekitar 2026, AI agent tunggal akan menjadi semacam pulau digital buntu yang hanya menawarkan nilai yang terisolasi dan gagal untuk diskalakan. Keberhasilan sebenarnya akan datang dari Multi-Agentic Enterprise, yaitu perusahaan yang membangun workforce multi-agen yang terhubung dengan baik, melintasi fungsi dan departemen, bahkan keluar ke ekosistem mitra dan pelanggan.

Untuk sampai ke sana, ada tiga fondasi teknologi yang harus dibangun: protokol multi-agen untuk interoperabilitas dan komunikasi terbuka, konteks multi-agen terintegrasi sebagai fondasi data terpadu, serta tata kelola multi-agen yang kuat demi keamanan, observabilitas, dan pengendalian semua agen.

Peran AI agent pun akan berubah secara mendasar. AI agent akan bergerak dari task-takers menjadi outcome owners yang tertanam di dalam alur kerja. Alih-alih sekadar menerima instruksi granular, AI agent akan diberi tujuan seperti meningkatkan kepuasan pelanggan, mempercepat penyelesaian tiket, atau memperbesar pipeline penjualan. AI agent kemudian akan belajar secara dinamis untuk mengorkestrasi orang, proses, dan data guna mendorong hasil tersebut secara proaktif, dengan pemahaman kontekstual yang lebih dalam terhadap organisasi.

Perubahan lain adalah pergeseran dari AI agent yang selalu diinisiasi oleh pengguna ke pola yang digerakkan oleh peristiwa (event-driven). AI agent akan memperoleh tingkat otonomi yang lebih tinggi dan mulai bekerja ketika sebuah event terjadi. Misalnya, satu AI agent menemukan masalah kinerja sistem, lalu secara otomatis menginstruksikan agen pengembang untuk menganalisis akar masalah, memperbaikinya, dan menjalankan pengujian, tanpa menunggu perintah langsung dari manusia. Di belakang layar, simulasi dan lingkungan latihan memungkinkan AI agent untuk belajar, gagal, dan membaik lebih cepat dibandingkan siklus pembelajaran di dunia nyata.