Kepercayaan Diri yang Berlebihan Bisa Jadi Penghambat Utama Keberhasilan AI di Perusahaan

Studi global HPE menemukan banyak perusahaan terlalu percaya diri terhadap kemampuan AI mereka. Kepercayaan ini justru memunculkan tantangan baru seperti strategi yang terpecah, data yang belum matang, dan infrastruktur yang belum siap.

Adopsi kecerdasan buatan (AI) di kalangan perusahaan global terus menunjukkan pertumbuhan yang menjanjikan. Di balik peningkatan ini, muncul perhatian baru tentang sejauh mana upaya tersebut benar-benar mampu menghadirkan dampak bisnis yang nyata.

Studi terbaru dari Hewlett Packard Enterprise (HPE) berjudul ONE YEAR ON: Architecting an AI Advantage mengungkap bahwa banyak perusahaan menghadapi tantangan baru yang justru datang dari kepercayaan diri berlebihan terhadap kemampuan AI mereka sendiri. Sikap tersebut tidak selalu membawa percepatan transformasi, melainkan bisa menciptakan titik buta strategis yang menghambat manfaat AI secara optimal.

Penelitian HPE yang melibatkan 1.775 pemimpin IT di sembilan pasar global memperlihatkan kombinasi kemajuan dan kemunduran. Jumlah organisasi yang telah mengoperasionalkan AI meningkat dari 15 persen menjadi 22 persen. Meski demikian, kurang dari separuh perusahaan menilai implementasi mereka berhasil, dan sekitar 35 hingga 40 persen proyek AI hanya menghasilkan dampak terbatas.

Hambatan utama muncul karena strategi yang tidak menyatu, data yang belum matang, serta infrastruktur yang belum siap menghadapi kompleksitas AI modern.

Strategi Holistik Menjadi Penentu Utama

Sebanyak 72 persen perusahaan mengakui pentingnya pendekatan AI yang menyeluruh, yaitu strategi yang memadukan visi, sumber daya, dan investasi infrastruktur secara terpadu dari awal hingga akhir. Walaupun kesadaran ini meningkat, masih ada sepertiga organisasi yang menjalankan strategi AI berbeda-beda di setiap divisi. Hanya 42 persen yang berkolaborasi dalam menetapkan satu tujuan bersama untuk inisiatif AI mereka.

Menurut Brian Gruttadauria, CTO untuk Hybrid Cloud di HPE, perusahaan yang mampu menyatukan strategi, arsitektur data, dan tata kelola AI akan lebih siap membangun platform yang tangguh dan mudah dikembangkan. Ia juga menegaskan bahwa perusahaan yang masih bekerja secara terpisah-pisah justru berisiko menumpuk utang teknis yang mahal dan sulit diperbaiki.

Sebagian besar pemimpin IT memahami pentingnya peran data dalam inovasi. Meski begitu, tingkat kematangan pengelolaan data masih perlu ditingkatkan. Hanya 45 persen organisasi yang mampu melakukan pertukaran data secara real time, dan 43 persen yang memiliki model tata kelola data untuk analitik lanjutan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kemampuan mengubah data menjadi aset strategis masih menjadi pekerjaan rumah bagi banyak perusahaan.

Infrastruktur dan Etika: Dua Pilar yang Mulai Terabaikan

Teknologi seperti generative AI dan agentic AI memicu peningkatan kebutuhan komputasi yang signifikan. Kesiapan infrastruktur pun menjadi tantangan tersendiri. Kurang dari separuh responden merasa yakin memahami kebutuhan komputasi dan jaringan di seluruh siklus hidup AI mereka. Sebanyak 42 persen perusahaan bahkan masih mengandalkan infrastruktur lama yang dirakit sendiri, padahal sebagian besar tidak memiliki keahlian internal untuk membangun sistem yang benar-benar siap mendukung AI. Akibatnya, hampir separuh organisasi mengaku kesulitan mengelola pipeline proyek AI mereka.

Selain masalah teknis, perhatian terhadap kepatuhan, etika, dan keamanan AI juga mengalami penurunan. Partisipasi tim legal turun dari 79 persen menjadi 70 persen, sementara keterlibatan tim HR yang sebelumnya aktif dalam strategi etika kini menurun dari 68 persen menjadi 61 persen. Peran CISO atau pemimpin keamanan juga melemah, dari 46 persen menjadi hanya 36 persen.

Kirk Bresniker, HPE Fellow dan Chief Architect di HPE Labs, menegaskan bahwa keberhasilan AI tidak cukup diukur dari hasil uji coba di laboratorium. Menurutnya, seberapa pun canggihnya prototipe AI, semuanya bisa gagal jika tidak diuji dalam kondisi nyata yang melibatkan aspek keamanan, regulasi, dan sistem IT perusahaan.

Mayoritas responden dalam survei HPE berencana meningkatkan bahkan menggandakan anggaran AI mereka dalam 12 bulan ke depan. Dengan arah strategis yang tepat, langkah ini dapat menjadi momentum penting untuk mengubah proyek-proyek eksperimental menjadi inisiatif yang benar-benar memberikan dampak bisnis jangka panjang. HPE menekankan bahwa pendekatan AI yang terintegrasi yang meliputi arsitektur data, tata kelola, infrastruktur modular, dan keahlian konsultasi menjadi kunci dalam membuka potensi penuh AI di lingkungan perusahaan.

Transformasi AI bukan hanya soal mengadopsi teknologi baru. Keberhasilan sejati justru terletak pada kemampuan organisasi dalam menyatukan strategi, data, infrastruktur, dan etika ke dalam satu arah kepemimpinan digital yang matang. Ketika euforia AI sedang tinggi-tingginya, kemampuan untuk menilai kesiapan internal secara jujur bisa menjadi fondasi paling kokoh menuju keberhasilan yang berkelanjutan.