Survei Red Hat di UEA menujukkan investasi AI naik rata-rata 31% hingga 2026 dan AI jadi prioritas bagi 82% responden, namun 96% organisasi belum melihat nilai nyata bagi pelanggan. Open source dipandang vital, sementara hambatan utama mencakup integrasi, keamanan data, dan kekurangan talenta.
Organisasi di Uni Emirat Arab (UEA) mengantisipasi peningkatan investasi AI dengan rata-rata 31% hingga tahun 2026. Dalam 18 bulan ke depan, AI menjadi salah satu prioritas utama bagi 82% responden strategi TI, bersama keamanan dan optimasi biaya.
Meski begitu, 96% organisasi yang disurvei mengakui mereka belum mendorong nilai nyata bagi pelanggan dari investasi AI yang sudah berjalan. Kepercayaan diri terhadap posisi UEA di panggung AI global juga sangat tinggi, dengan 99% pelaku usaha meyakini negara tersebut adalah, atau segera menjadi, kekuatan AI dalam tiga tahun ke depan.
AI Agentic Sebagai Fokus Baru
Hampir semua responden, 98%, menghadapi hambatan adopsi AI. Tiga kendala teratas adalah integrasi dengan sistem yang sudah ada sebesar 36%, isu privasi dan keamanan data 32%, serta kurangnya dukungan dari pemangku kepentingan 32%. Menjawab tantangan ini, responden memprioritaskan agentic AI sebesar 83% dalam 18 bulan ke depan, yaitu sistem AI berotonomi tinggi yang mampu mengeksekusi tugas multi-langkah dengan intervensi manusia minimal. Dua prioritas lain yang menonjol adalah memungkinkan adopsi karyawan yang luas sebesar 86% dan mengoperasionalkan AI sebesar 85%.
Retensi serta pengembangan talenta tetap krusial. Kekurangan keterampilan AI masih menjadi celah paling mendesak menurut 76% responden. Fokus peningkatan kemampuan sejalan dengan target prioritas, yaitu menghubungkan AI ke data perusahaan 59%, penggunaan agentic AI yang efektif 57%, pemanfaatan kapabilitas AI yang efisien 58%, dan edukasi bisnis untuk menggunakan AI 47%. Di saat yang sama, 70% responden menyatakan menghadapi masalah shadow AI, yaitu penggunaan alat AI yang tidak resmi oleh karyawan.
Satu penekanan baru yang konsisten muncul adalah peran open source. Seratus persen pemimpin TI UEA dalam survei ini memandang open source vital untuk optimalkan biaya, post-quantum cryptography, dan virtualisasi. Penekanan pada keterbukaan dan standar bersama dipandang penting untuk memaksimalkan nilai investasi AI dan hybrid cloud, sekaligus mempercepat kolaborasi lintas ekosistem teknologi.
Kedaulatan Cloud dan Keterbatasan Infrastruktur
Untuk memperkuat posisi AI nasional, 62% responden menilai kurangnya infrastruktur komputasi sebagai faktor penghambat utama, disusul terbatasnya talent pipeline sebesar 52%. Di ranah strategi kedaulatan cloud 18 bulan ke depan, responden UEA memprioritaskan kendali dan otonomi operasional sebesar 86%, pengamanan rantai pasok software sebesar 81%, serta fleksibilitas dan pilihan pemasok TI sebesar 86%. Temuan ini menegaskan kebutuhan akan fondasi arsitektur yang terbuka, aman, dan portabel agar beban kerja AI dapat disejajarkan dengan strategi cloud yang terus berevolusi.
Mengomentari temuan tersebut, Adrian Pickering, Regional General Manager MENA, Red Hat, menegaskan bahwa untuk melampaui tahap eksperimen dan menghasilkan nilai yang bertahan lama bagi pelanggan, organisasi perlu membangun landasan yang kokoh dengan mengintegrasikan pengetahuan perusahaan ke dalam sistem yang sudah ada. Keterbukaan dan standar umum bukan sekadar ideal; keduanya esensial untuk memaksimalkan nilai investasi AI dan cloud hibrida, membuka ruang kolaborasi, dan mendorong fleksibilitas yang dibutuhkan untuk berinovasi.








